Minggu, 14 Juli 2013

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Print E-mail
Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda

Filsafat Hindu

WAISASIKA DAN MIMAMSA
Sad darsana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Weda secara menyeluruh di bidang filsafat. Sad darsana uga disebut sebagai filsafat hindu.

Filsafat hundu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran. Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :

Selasa, 13 November 2012

HUKUM KARMA PHALA: SEBUAH REFLEKSI AKHIR TAHUN

Om Suastiastu,

Walau siang itu sang mentari sedang semangat-semangatnya memancarkan sinarnya yang panas, tetapi hal itu tidak menyurutkan langkah Budi untuk menjalani runitas kesehariannya. Malahan dia tambah semangat untuk menjajakan barang dagangannya di sebuah perempatan jalan di bilangan Jakarta Selatan. Kurang lebih sudah dua puluh tahun dia melakoni hidup sebagai pedagang asongan di Jakarta.

Seorang lelaki membuka pelan-pelan kaca mobilnya seraya melambaikan tangan memanggil Budi. Budi segera menghampiri mobil mewah itu. Lelaki itu minta sebuah majalah terkenal yang senantiasa mengupas masalah ekonomi dan bisnis. Sambil menyodorkan majalah yang diminta, Budi menatap wajah lelaki yang ternyata tidak asing bagi dirinya. Belum sempat Budi membuka bibir, lelaki itu sudah menyapa duluan. “Maaf, Kamu Budi ya? Main ke rumah ya. Ini uang pembelian majalah dan sekalian kartu namaku.”

Mobil Mercy keluaran terbaru itu buru-buru melaju karena sudah diklakson beberapa kali oleh mobil di belakangnya. Lampu pengatur lalu lintas sudah berwarna hijau. Budi pun bergegas ke pinggir jalan. Dengan antusias dibacanya kartu nama yang diberikan lelaki itu. Tertulis nama “I Wayan Dharma Kesuma” dan dibawahnya “Direktur Keuangan”. Dalam kartu itu juga tercantum nama perusahaan, alamat kantor, dan nomor telepon.

Atasi Masalah Kehidupan dengan Ilmu


Atasi Masalah Kehidupan dengan Ilmu
Oleh I Ketut Wiana
Dana adhyaynam sabdam
tarka sotrddhamaiua ca.
trayo duhke vighnatanca.
Sidha yosta prakirtitah.

(Wrhaspati Tattwa. 33).
Maksudnya: Belajar terus (dhyayana), terapkan ilmu itu dalam praktek (tarka jnyana) sampai memberikan kontribusi pada kehidupan (dana) itu tiga ciri hidup sukses secara duniawi (wahya siddhi). Dapat mengatasi tiga sumber duka (adhibhautika, adyatmika, adhidaivika dahka) cmi hidup sukses secara rokhani (adyatmika siddhi).
Membangun hidup sukses secara duniawi mentrut Wrehaspati Tattwa 33 ini dengan cara belajar terus (dhyayana), menterjemahkan ilmu itu dalam praktek kehidupañ (tarka jnyana) sampai mampu mewujudkan nilai tambah memberikan kontnibusi pada kehidupan individual dan sosial (dana). Itulah ciri hidup sukses secara duniawi yang disebut wahya siddhi.
Sedangkan hidup sukses secara rokhani atau adyatmika siddhi ada tiga cirinya yaitu: adibhautika duhkha yaitu derita yang berasal dari luar diri, adyatmika duhkha adalah derita yang disebabkan oleh diri sendiri, adidaivika duhkha yaitu derita yang disebabkan oleh karma pada masa penjelmaan sebelumnya. Sukses hidup duniawi dan hidup rokhani diawali dengan menerapkan hidup untuk belajar terus menerus dari tahap hidup brahmacari, grhastha, wanaprastha dan sampai mencapai tahapan hidup sanyasin asrama. Tiap tahapan hidup itu membutuhkan, ilmu yang berbeda-beda sebagai penuntunnya.
Han suci Galungan dan Kuningan dirayakan oleh umat Hindu di Nusantara ini sebagai bentuk motivasi untuk mengingatkan umat manusia agar menerapkan ilmu itu dengan fokus dan sinergi sebagai upaya menegakkan dharma sebagai dasar meniti kehidupan di bumi ini. Hal itu dinyatakan dalam Sunarigama sebagai pustaka yang menjelaskan tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Galungan dan Kuningan sesungguhnya suatu momentum untuk bertemunya para ilmuwan untuk mensinergikan ilmunya dengan fokus, sehingga masyarakat menjadi hidupnya lebih cerah dan terarah mencapai anugrah Hyang Titah atau Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan: “budha kliwon dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep”. Artinya Rabu kliwon dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya ilmu pengetahuan suci (jnyana) supaya masyarakat mendapatkan pandangan yang terang (galang apadang), untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran (byaparaning idep).

Memperhatikan teks lontar Sunarigama itu perayaan Galungan adalah untuk memotivasi umat manusia agar para ilmuwan itu mempraktekkan ilmunya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Dalam Canakaya Nitisastra V.8 ada dinyatakan: “abhyasad dharyate vidya”: artinya peliharalah ilmu itu dengan mengamalkannya sampai menjadi tradisi. Dalam Sloka 9 ditegaskan lagi: “vidya yogena raksyate”: Peliharalah ilmu suci itu dengan melakukan ajaran Yoga. Yoga itu ada dua sasarannya yaitu hatha yoga untuk membangun hidup sehat secara jasmaniah dan raja yoga untuk membina hidup sehat secara rokhani.
Perayaan hari raya Galungan ini akan menjadi amat mulia kalau sebelum perayaan dalam wujud ritualnya, dilakukan pertemuan para ilmuwan yang berada di setiap desa atau banjar. Pertemuan itu untuk memberikan peran serta para ilmuwan tersebut untuk berbuat berdasarkan ilmu yang dimiliki.
Peran serta para ilmuwan atau para jnyanin untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Permasalahan yang ada dirumuskan dengan baik itu untuk diselesaikan tahap demi tahap. Dengan demikian permasalahan demi permasalahan diatasi dengan sebaik-baiknya. Dengan memberi peran para ilmuwan yang ada disertai oleh semua pihak maka berbagai persoalan akan teratasi berdasarkan kajian ilmu pengetahuan secara benar dan tepat.

Jumat, 27 Juli 2012

Ingin Hidup Sejahtera

Dimensi – Balipost Minggu, 18 April 2010
Ingin Hidup Sejahtera, Lindungi Lima Hal
Oleh : Drs. Ketut Wiana, M.Ag.
Dahrrnam dhanam ca dhanyan ca,
guror vacanam ausadham,
sugritah ca kartavyam,
anyatha tu jivati
[Canakya Nitisastra, XII. 18]
Maksudnya: Kalau ingin hidup sejahtera lindungi dan peliharalah agama yang dianut (dharma), kekayaan (dhana) bahan makanan (dhanyan). Kata-kata bijak guru (guru vacana) dan kesehatan (ausadha). Kalau hal ini tidak dipelihara baik-baik hidup sejahtera itu tidak akan pernah didapatkan.
Setiap orang yang hidup di bumi ini pasti mengharapkan hidup aman damai dan sejahtera. Lebih-lebih dalam Manawa Dharmasastra I.89 menyatakan: Pajanam raksanam danam... Maksudnya, para ksatriya (pemerintah) agar senantiasa mengupayakan rasa aman dan damai (raksanam) serta hidup sejahtera (danam) bagi masyarakat (praja). Ini artinya para ksatriya yang duduk di pemerintahan negara agar menciptakan iklim untuk mendorong masyarakat mendapatkan rasa aman damai dan sejahtera.
Untuk itu pemerintah bersama masyarakatnya dengan koordinasi yang termanegemen dengan baik mengupayakan untuk melindungi lima hal. Lima hal yang wajib dilindungi itu dinyatakan dalam Canakya Nitisastra XIV. 18 sbb: Agama (dharma), kekayaan (dhana), bahan makanan (dhanyan), kata-kata bijak guru (guru vacana) dan sistem memelihara kesehatan (ausada) dengan cara benar, baik dan tepat. Lima hal itu adalah:
Agama: Lindungi dan peliharalah agama yang dianut dengan benar, baik dan tepat. Gunakanlah agama yang dianut untuk menguatkan kepercayaan atau sraddha dan bhakti kita kepada Tuhan.
Daya gunakanlah kepercayaan dan bhakti kita pada Tuhan untuk menguatkan daya spiritual untuk meningkatkan kwalitas moral dan daya tahan mental dalam menghadapi berbagai dinamika dan hiruk pikuknya kehidupan. Kehidupan modern semakin membutuhkan moral yang luhur dan daya tahan mental yang semakin kuat. Kualitas dan intensitas godaan hidup di zaman global ini semakin meningkat.
Agama harus dijadikan kekuatan untuk mengantisipasi godaan-godaan tersebut. Dengan demikian agama akan memberi kontribusi positif pada kehidupan individu dan kehidupan bersama di bumi ini. Kontribusi positif kehidupan dan agama dapat memberikan arah pada dinamika hidup ini kearah yang baik, benar, tepat dan produktif dalam artian menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai material secara seimbang dan kontinyu.
Agama seyogyanya berkontribusi mengatasi berbagai kekerasan dan sifat-sifat kasar yang dipentaskan oleh berbagai individu dan kelompok dengan mengatasnamakan agama. Agama jangan dirumuskan menjadi berbagai kewajiban yang ruwet dan memberatkan kehidupan. Jangan agama dijadikan dasar membuat berbagai kegiatan yang boros sumberdaya alam, boros finansial, boros waktu, tenaga dan membuat lalu lintas terganggu.
Justeru penerapan agama hendaknya diterapkan sesuai dengan yang diajarkan dalam kitab suci untuk mengatasi hal-hal yang disebutkan itu. Kalau agama diterapkan sesuai dengan petunjuknya dalam kitab suci pasti akan memberikan kontribusi positif dalam hidup ini.
Dhana adalah aset yang dimiliki agar dilindungi dan dipelihara dengan sebaik-baiknya untuk menjadi sarana menguatkan upaya manusia mewujudkan tujuan hidup mencapai tujuan hidup. Dalam Sarasamuscaya 177 dan 178 dinyatakan bahwa kegunaan dhana itu untuk dinikmati dan di-danapunia-kan. Medanapunia itu bukan berarti diberikan pada orang dengan sembarangan.
Bhagawad Gita XVII. 20 menyatakan danapunia itu dilakukan dengan dasar desa, kala, patra. Sarasamuscaya 271 menyatakan: Ikang artha danakena ri sang patra, patra ngaran sang yogia wehana dana. Artinya : artha itu hendaknya di-danapunia-kan pada Sang Patra. Patra namanya orang baik yang seyogianya diberikan dana punia. Ini artinya dana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat.
Dhanyan artinya bahan makanan. Hal ini harus dijaga dan dilindungi baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Industri makanan banyak sekali dijumpai sudah merusak makanan menjadi racun demi keuntungan bisnis semata. Banyak makanan dirusak dengan diisi zat kimia berbahaya. Demikian juga dalam industri makanan sering dijumpai antara label pada kemasannya dan isinya di dalam berbeda dari segi kuantitas dan kualitas.
Padahal dalam Mantra Weda dinyatakan tidak boleh menipu langganan dan memalsu barang dagangan itu suatu perbuatan dosa menurut Weda. Dalam berbagai pustaka Hindu banyak sekali dibahas masalah makanan ini. Karena untuk hidup sejahtera dimulai dari makan dengan cara yang benar, baik dan tepat. Kalau menyikapi makanan ini salah caranya maka makanan itulah yang akan membuat hidup seseorang menjadi sengsara. Bhagawad Gita XVII, 8-10 ada dijelaskan tentang tiga jenis makanan yaitu satvika, rajasika dan tamasika ahara. Makanan yang ideal adalah makanan yang satvika.
Guru vacana artinya kata-kata bijak dari guru suci. Dalam Wrehaspati Tattwa 26 ada dinyatakan: Kawarah sang Hyang Aji kaupapatyan de sang guru agama ngaran. Artinya apa yang dinyatakan oleh kitab suci dan diajarkan oleh guru itulah agama namanya. Sarasamuscaya 181 juga menyatakan bahwa: Agama ngaran kawarah sang Hyang Aji. Agama namanya apa yang dinyatakan oleh kitab suci. Dan mantra Weda sabda Tuhan itu dipelajari oleh guru atau rsi dan terus dirumuskan kembali oleh para rsi menjadi kata-kata bijak.

Sabtu, 19 Mei 2012

Tiga Ciri Suksesnya Pengamalan Agama

Dimensi – Balipost Minggu, 14 Juni 2009.
Tiga Ciri Suksesnya Pengamalan Agama
MASIH banyak orang yang baru merasa beragama kalau sudah melaksanakan upacara yadnya atau melakukan sembahyang. Menolong orang menderita, berdana punia di bidang pendidikan, tidak mengotori lingkungan, berlalu - lintas yang sopan mengikuti aturan, hidup hemat, hal itu sering tidak dianggap sebagai perilaku mengamalkan ajaran agama. Padahal, berbuat baik, benar dan wajar diajarkan sebagai pengamalan agama.
Berbakti pada Tuhan sesungguhnya untuk memotifasi agar manusia dapat berbuat baik, benar dan wajar, untuk membenahi kualitas hidup dirinya sendiri, kualitas kehidupannya bersama dalam masyarakat dan kualitas perilakunya pada alam lingkungan.

Upacara yadnya adalah merayakan hari raya aga m sebagai metode sakral untuk menanamkan tattwa agama agar umat termotivasi melakukan perilaku nyata memelihara hak azas alam berdasarkan rta. Demikian juga untuk menegakan dkarma agar kualitas moral dan daya tahan mental semakin meningkat. Agama Hindu juga mengajarkan agar memelihara kesehatan dan kebugaran fisik sebagai metha untuk berbuat baik, benar dan wajar.

Citra kehidupan beragama akan menjadi Semakin terpuruk kalau pengamalan agama menyebab kan kehidupan umat manusia semakin rusak. Sebutlah misalnya atas nama agama melakukan teror yang demikian kejam kepada sesama manusia, karena alasan berbeda agama tidak mau bergaul setara dengan sesama manusia. Ada juga karena alasan agama, orang membeda bedakan harkat dan martabat manusia, seperti memandang kedudukan wanita lebih rendah dan laki-laki. Dengan alasan agama, orang mendudukkan suatu wangsa tertentu lebih tinggi dan wangsa yang lain.

Pengamalan agama seperti itu akan merusak citra agama. Perilaku yang demikian itulah sesungguhnya tergolong melakukan penodaan agama yang melanggar ajaran agama itu sendiri dan juga ketentuan hukum positif yang herlaku di Indonesia.
Pengamalan agama dalam kehidupan ini baru dianggap berhasil setidak-tidaknya dapat dilihat dari tiga kriteria adanya peningkatan kualitas hidup manusia secara individual, adanya peningkatan kualitas kehidupan sosial, dan adanya peningkatan upaya pelestarian alam lingkungan. Tanpa adanya kemajuan dalam tiga aspek kehidupan itu, berarti kehidupan beragama belum berhasil memberikan kontribusi positif pada kehidupan ini.
Keyakinan dan pemujaan pada Tuhan salah satu wujud dan pengamalan agama. Kalau pemujaan Tuhan itu tidak mendatangkan perbaikan pada tiga aspek tersebut, maka ada sesuatu yang salah dalam proses pengamalan agama. Kesalahan itu bukan pada ajaran agama yang suci sabda Tuhan tersebut.
Tiga kriteria suksesnya pengamalan agama dapat diamati sbb.:
Pertarna, adanya peningkatan kualitas hidup secara individual. Artinya dengan mengamalkan ajaran agama, seseorang hidupnya menjadi semakin berkualitas. Dengan. mengamalkan ajaran agama, hidup seseorang lebih tenang dan damai dalam kejiwaannya, lebih sehat secara fisik, lebih disiplin dalam melakukan kehidupan, lebih mampu menata kehidupan yang semakin sejahtera lahir dan batin.
Demikian juga secara individual moralnya semakin luhur, daya tahan mentalnya lebih tangguh menghadapi hiruk pikuk, pasang surut serta suka dukanya kehidupan ini. Proses kehidupan yang multidimensi ini diselenggarakannya dengan seimbang dan wajar dan dengan demikian kehidupan di bumi ini tidak dirasakan sebagai beban yang demikian memberatkan. Suka’duka diterimanya dengan sikap yang adil dan dengan akal sehat.